Sabtu, 17 Agustus 2019

Haji/Hajjah : Antara syariat dan Kebiasaan

Beberapa hari ini saya mendapatkan postingan video dari asaatidzah kondang Ahlu Sunnah tentang larangan sematan *haji/Hajjah* pada nama, karena ia adalah _bekas_ ibadah wajib yang tak perlu diberi gelar. Fikiran saya sedikit tergelitik. Setuju dengan perkataan asaatidzah tersebut tapi aplikasi dalam penghilangan sematan itu tak tau harus memulai dari mana. Khusus di daerah saya, sematan itu nyaris "wajib" digunakan sebagai bentuk penghormatan pada sang pemilik. Bahkan bermodal gelar ini bisa merubah status sosial seseorang contohnya ia bisa menempati posisi duduk teratas dan terdepan di sebuah hajatan. Hebat, kan?

Memanggil nama tanpa sematan ini bisa saja dianggap tak sopan (atau cuma dugaan saya, ya?).Khawatirnya si pemilik atau orang lain yang mendengar akan menilai "tak sopan" jika langsung  memanggil nama tanpa sematan ibadah yang masuk rukun Islam terakhir ini, meski maksudnya bukan begitu sih.  Dilain pihak saya khawatir terjatuh pada ikut serta melegalkan alias  turut andil melestarikan tradisi gelar ini. Kadang bingung antara syariat dan yang "katanya" 'urf masyarakat setempat (emang gt?serius bingung). Atau mungkin karena saya tak berhak atas titel itu jadi mudah beropini, ya? Namun jika sekiranya diberi rejeki dan umur panjang untuk menunaikan kewajiban satu ini (Allahumma aamiin), inginnya sematan itu dijauhkan bertrilyun kilometer dari nama saya, soalnya ye, hatiku tuh rapuuh banget, mudah riya', ujub dan mungkin bisa terasa kurang afdhol jika terlanjur tersemat dan tidak dipanggil "Hajjah" oleh seseorang. Katanya riya' itu seperti semut hitam berjalan dimalam hari, haluuus nyaris tak terasa. Dan sayapun berkali-kali terpeleset di ranah ini tanpa terdeteksi. Kalau disuruh memilih, saya lebih memilih dipanggil dengan nama kuniyah *Ummu Zaki* bebas hambatan hati, aman dan nyaman, hehehe.

Katanya lagi asaatidzah itu, sejatinya ibadah tak memiliki *titel*. Karena satu syarat diterimanya ibadah adalah ikhlash. Ikhlash berarti hanya bermuara ke sang Pemilik dan tak perlu menunggu penilaian manusia. Semakin samar sebuah ibadah di mata manusia semakin baik (selain ibadah syiar tentunya). Merasa ada yang kurang dengan tanpa sematan itu bisa saja berefek pada keikhlasan ibadah haji yang memang diraih dengan perjuangan yang tak mudah. Katanya lagi, ibadah satu ini  jika telah sempurna dilalui maka ia telah sampai padaNya meski tanpa bekas termasuk gelar. Bahkan kalau ingin melihat "contoh" dari para salafush sholeh, tak satupun menggunakan sematan ini pada nama mereka meski berkali-kali menunaikannya, terus yang mau dicontoh siapa coba kalau bukan mereka sebagai khairah ummah, ummat terbaik sepanjang zaman.

Berbeda dengan gelar akademik yang memang bukan merupakan tanda ibadah wajib, sunnah bahkan mungkin hanya mubah (selain ilmu syariat pastinya). Bahkan pernah disebuah lembaga tertentu, gelar akademik pun kadang tak perlu ditampakkan meski dalam penulisan surat formal sekalipun jika sifatnya internal.

Kucoba memulai dengan mengedit nama-nama pemilik "haji/Hajjah" di kontak teleponku. One by one, dan ternyata lumayan membuat pegal jempol saking tak sedikit yang harus diedit, baru nyadar saya, Ternyata banyak yang bergelar itu di kontakku yang tentunya dengan andil saya yang menyimpan nama. Mungkin inilah awal yang bisa saya mulai tanpa terkesan "tak sopan" karena hanya untuk konsumsi pribadi. Berharap langkahnya bisa lebih kedepan tentunya bukan karena manusianya tapi semata ingin ridha dariNya sebagai tujuan hidup di dunia.

Ah... syariat itu adalah sebuah kepastian karena ia dari sang pemilik Yang Maha Tahu. Bukan berbasis perasaan meski tak jarang melibatkan perasaan dalam aplikasinya. Manusia memang suka sok tahu. yaaa seperti saya ini dalam masalah ini.

*Ummu Zaki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembelajaran Daring: Memanusiakan manusia dimasa pandemi

Istilah pembelajaran memanusiakan manusia telah kita kenal jauh sebelum terjadi pandemi global ini. Sebuah judul buku yang pernah menjadi be...