Minggu, 29 April 2018

Memilih Kisah Pengantar Tidur

“Ibu, nanti ceritakan kisah, ya!” pinta gadis mungilku. Aku mengangguk mengiyakan sembari memandang gadget dan mengeloni si dede bayi. “Jangan lupa, ya bu!” Kembali ia menegaskan. Kutatap wajahnya menoleh dari gadget yang mengalihkan perhatianku padanya sembari berujar “iyaa, anak sholehah, tapi tunggu si dede terlelap, ya”. Ia mengangguk dengan mata berbinar.

Seringkali menjawab pertanyaan anak tanpa menatap wajahnya terkesan tak serius baginya. Maka dipastikan pertanyaan serupa akan terulang hingga mata tertuju padanya. Atau bahkan tangan mungilnya tak segan  menarik kedua pipi agar posisi kepala tepat didepan wajahnya. Agar mata fokus menatapnya. Setelah itu jawaban pertanyaan akan ia terima sempurna.

Keinginan untuk didengar ternyata tumbuh di setiap individu sejak kecil. Dari anak-anakku, hal serupa sering kutemukan pola yang sama. Aku belajar dari mereka bahwa menjadi pendengar yang baik adalah sebuah hal yang tak boleh disepelekan. Meski itu perkara sepele.

Sebuah kebiasaan kami jelang tidur membacakan kisah pengantar tidur. Namun sejak kehamilan dan kehadiran si bayi, rutinitas itu sedikit terganggu. Terkadang aku malah duluan terkapar di pembaringan saat mengeloni si bayi sehingga baca kisah jadi terabaikan atau bahkan mereka yang terlebih dulu terlelap akibat kelelahan bermain tanpa asupan tidur di siang hari.

Membersamai mereka jelang tidur ternyata efektif menanamkan nilai-nilai dari kisah yang dibacakan. Maka kami memilih asupan bacaan dari kumpulan kisah nyata para salaf. Dongeng tak pernah menjadi pilihan kami. Disamping karena kisah fiktif, juga penanaman nilai spiritual lebih kami prioritaskan.

Saya teringat dengan salah satu hadist yang mewanti-wanti untuk tak berdusta meski itu sebuah candaan. Maka kami memilah kisah non-fiksi dengan harapan bahwa sesuatu yang nyata lebih realistis untuk diteladani. Meski demikian, hal itu tak menegaskan kami antipati terhadap cerita fiksi.

Secara fitrah manusia senang mendengar kisah. Tak heran dalam Al-Qur'an banyak kisah orang-orang terdahulu sebagai  nutrisi jiwa bagi orang-orang kemudian. Sebagai pelajaran bagi yang membacanya.

Sebuah penelitian di Inggris pada tahun 60-an menunjukkan bahwa negara yang penduduknya terbiasa dengan membaca kisah/dongeng memiliki tingkat keinginan untuk sukses yang tinggi. Aku lupa sumber websitenya. Tapi hal itu kutemukan beberapa tahun lalu saat keherananku pada silabus mapel yang kuajarkan mewajibkan “teks naratif" diajarkan di setiap tingkatan kelas pada jenjang SMA. Berkali-kali mencoba menemukan jejak sumber web itu namun seolah hilang ditelan bumi.

Selain poin kebersamaan, literasi dan nilai moral cerita coba kami pupuk dari kisah pengantar tidur , juga efek positif lain adalah kami selaku orang tua “dipaksa” membaca kisah salaf yang mungkin hanya akan menumpuk menjadi hiasan lemari jika hanya mengandalkan motivasi diri sendiri atau hanya karena tugas dari halaqah tarbiyah. Satu kali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Seperti oleh-oleh webinar rumahinspirasi “raising children raising ourself”.

*Ummu Zaki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembelajaran Daring: Memanusiakan manusia dimasa pandemi

Istilah pembelajaran memanusiakan manusia telah kita kenal jauh sebelum terjadi pandemi global ini. Sebuah judul buku yang pernah menjadi be...