Minggu, 29 April 2018

Undangan makan durian

Kususuri jalan berkelok-kelok, terjal dan berkelikil dengan menumpang mobil salah satu kakakku. Memoryku kembali merekam jejak2 kaki mungilku di masa lalu yang berlumpur tanpa alas kaki melewati jalan yang hanya bisa dijangkau dengan mobil tertentu, jalan kaki, dan berkuda.Penampakan mobil adalah hal yang langka,hanya sekali dalam sepekan saat jadwal pasar tradisional digelar. itupun dengan kondisi mobil yang tak layak bersaing dengan mobil di perkotaan. Mengingat kondisi luar mobil berhias lumpur yang sudah pasti saat melihatnya orang akan mengenali sebagai mobil ndeso.

Andai bukan karena godaan undangan makan durian dari salah satu bibi dari pihak sepupu ayah yang tinggal disana, niscaya aku akan berpikir dua kali kesana, mengingat bayiku masih berumur 4 bulan. Hanya saja lama rasanya tak menyantap durian lokal dikampung ini yang akan membuat kita sulit melupakan gigitan pertama hingga akhir. Selain itu dijamin fresh bukan abal2 apalagi palsu seperti yang makanan yang kini banyak bertebaran berbalut asli tapi palsu alias aspal.

Hmmm...aroma durian tercium dari pepohonan yang tumbuh di pinggiran jalan. Memaksa kami untuk singgah sekedar mengabadikan buah ekslusif yang bergelantungan tinggi untuk kebutuhan eksis di medsos (tuh kan). Aku yang tumbuh dan besar di kampung ini menjadi guide dan penutur ulung menceritakan pada anak-anakku, suami dan ponakan-ponakanku tentang kisahku di masa lalu dengan si buah legit ini.

Sesampai di tempat tujuan, kami singgah pada salah satu kerabat yang melakukan hajatan nikah. Kami disuguhi 2 baki durian yang siap disantap plus cuci tangan dan baskom tempat kulit dan bijinya. Begitu buah khas yang tak bisa disembunyikan ini tersaji didepan kami, mata kami berbinar-binar mengalahkan hijaunya mata yang melihat segepok uang (hehehe segitunya). Satu persatu kami melumat habis durian hingga tak bersisa, padalah itu baru pengantar, durian bibi masih menunggu cantik di rumahnya untuk dieksekusi.

Selanjutnya kami menuju rumah bibi. Disisi dapur, tumpukan durian telah menunggu. Langsung saja kami sikat. Suami dan anak-anak mengangkutnya untuk di santap di pinggir kali yang tak jauh dari kediaman bibi. Menyantap buah yang berhawa panas ini sambil berendam di kali yang airnya sejuk menciptakan perpaduan sempurna. Saat kepala mulai puyeng akibat kebanyakan asupan buah panas ini maka nyemplung di dinginnya air menjadi pilihan tepat. Kepala kembali fresh dan durian pun kembali jadi korban kelahapan kami.

Disela-sela makan durian. Aku memandang sang bibi yang dengan setia membelah durian untuk kami. Ada guratan ketegaran di wajahnya. Hidup dengan 4 anak ditinggal suami beberapa tahun. Memaksa sang bibi yang sebetulnya dasarnya lembut menjadi wanita berotot akibat menggarap  kebun untuk menopang kebutuhan keempat anaknya yang kesemuanya telah menuntut biaya pendidikan. Menggratiskan ratusan durian yang sebenarnya bisa menghasilkan uang bernilai bagi mereka adalah sesuatu yang membuatku semakin kagum padanya. Ditengah kesulitan hidupnya, ia masih mengingat dan menyisakan salah satu sumber penghidupannya pada kami yang tak jarang abai dengan kondisinya hanya karena alasan kehidupan kota yang menyibukkan. Ah bibi… ada rasa iba bercampur sesal.

Saat bibi berkisah tentang hidupnya aku menyimak khusyuk. Tentang anak sulungnya yang telah kuliah dan mampu membiayai kuliahnya sendiri. Tentang anaknya yang telah menikah dan tetap kuliah dibiayai suaminya. Juga tentang sepasang anaknya yang masih dibangku SMP dan SD. Saat durian yang disuguhkan kemudian dipilah-pilah untuk dikirimkan pada saudara yang uzur tak sempat datang, sang bibi menyuruh kedua anaknya ke kebun memungut durian jatuh sebagai tambahan. Aku sengaja memanggil anakku untuk ikut serta berburu durian runtuh agar mereka dapat belajar kehidupan yg tak akan mereka temui di kota. Saat pulang, anakku bercerita tentang salah satu anak bibiku yang masih duduk di bangku SD. Katanya ia ditugaskan ibunya ke kebun jagung yang menurut ukuran kaki orang kota lumayan jauh. Ia harus mengganti ibunya yang sementara menemani kami menjaga predator tanaman jagung bibi. Aku kembali merenung, betapa kerasnya hidup mengajarkan anak bibi tentang hidup yang sesungguhnya adalah sebuah perjuangan maka tak heran jika anak sulungnya telah mampu menghidupi iri sendiri di ibukota. Berbeda dengan anakq yang mungkin tumbuh dengan berbagai kemudahan ala anak kota, untuk sekedar bersendirian di ruang keluarga akan membuatnya histeris. Atau sarjana yang hari ini bingung mau kerja apa jika tak lulus di tempat kerja yang menjadi targetnya. Atau asumsi masyarakat bahwa pekerjaan itu sebatas lulus PNS. Yah...ada yang kurang dengan ilmu kehidupan kita.

Menurut cerita bibi, babi hutan, monyet adalah predator utama tanaman jagungnya. Tak jarang monyet itu katanya lebih besar dari manusia, sehingga ia yang seorang diri hanya bisa menepuk gendang kencang-kencangnya dari balik gubuk kebunnya berharap mereka menjauh. Pernah pula  ia berteriak “hai, saudaraku monyet2! Datangilah seluruh tempat di muka bumi kecuali tempatku ini, kasihanilah diriku yang seorang janda!” Ia bertutur sambil tertawa. Ternyata setelahnya, beberapa hari mereka betul2 bak hilang ditelan bumi.

Secara fisik. Mungkin kami yang hidup di perkotaan tampilannya lebih sejahtera darinya. Tapi secara psikis sangat tidak menjamin. Don’t judge the book by its cover, jangan menilai buku dari pembungkusnya. Fokus bibi mungkin hanya seputar bagaimana bertahan hidup dengan memenuhi kebutuhan primer. Makan dan sekolah anak-anaknya. Memikirkan tentang kebutuhan sekunder apalagi sekedar gaya hidup tak tercover dalam daftar misi hidupnya. Perabotan seadanya, rumah sederhana dan pekerjaan bermodal hasil kebun namun masih bisa berbagi dengan kami yang hidup lebih modern katanya. Ah  rumus matematika yang kupelajari selama 12 tahun tak mampu kupakai untuk menjelaskan kenyataan yang tak sebaliknya. Kami penuh dengan keluhan-keluhan yang sesungguhnya tak layak dikeluhkan. Kami hanya tersangkut dengan urusan diluar kebutuhan primer tapi kadang lupa bersyukur dan berbagi hasil hidup dari perkotaan. Ada yang salah dengan rumus kehidupan kami. Sehingga tak jarang hutang dari kebutuhan sekunder menjadi titik fokus kehidupan. Menjadikan kami seolah hidup tanpa hutang adalah sebuah kemustahilan. Sehingga menciptakan asumsi “apa yang mau dibagi?” Gaji habis untuk kebutuhan hidup yang tak ada habisnya, gaji sekedar numpang lewat dalam bentuk nominal. Realnya nyangkut di arisan, cicilan barang atau bahkan di penagih hutang. Ufffh….mirisnya realita.

Menoleh pada kehidupan orang tuaku dulu. Dengan selusin anak, pekerjaan ayah sebagai guru saat itu yang tanggal gajiannya tak menentu, tapi kami semua tak jua hidup melarat kini. Kami bisa mandiri dan memiliki ijazah sarjana. Pekerjaan ibu yang membantu pasokan dana keluarga dengan menjahit kecil-kecilan di pasar tradisional 2 kali sepekan dalam skala penjahit amatiran hasil otodidak. Berkebun dan menjadi penjual baju keliling yang tak jarang pembayarannya menunggu panen kopi ataupun dibarter dengan hasil bumi yang bukannya meringankan beban jualan tapi menambah beratnya untuk dijunjung di kepala berkilo-kilo dengan jalan kaki menyusuri pegunungan. Namun seingatku menu makanan di meja saat itu tak kalah menggugah selera dengan menu makanan di dapurku hari ini. Hasil upah menjahit hari itu cukup untuk menyajikan menu cumi hitam ataupun kepiting rebus yang rasanya hari ini tak mampu kulirik di penjual ikan jika gaji sertifikasi belum cair. Aku yakin ada yang salah dengan hitungan matematikaku. Matematika kehidupan yang mungkin tak termaktub dalam buku sains yang pernah kupelajari.

Aku menyimpulkan sendiri bahwa kecukupan  rezeki bukan dihitung dari nominalnya, bukan diukur dari besar tidaknya pemasukan dan bukan dinilai dari status pekerjaan. Tapi ia dikalkulasi dengan matematika kehidupan ,usaha, tawakal, syukur dan berbagi. Karena sejatinya Dunia ini tak ada habisnya jika ukuran kita  berstandar pada orang diatas, namun ia akan berlebih jika standarnya diturunkan sesuai dengan orang dibawah. Dan ia akan cukup jika standar kecukupan itu ada pada apa yang kita miliki hari ini. Maka nikmat tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan (QS: 55:13).

#Ummu zaki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembelajaran Daring: Memanusiakan manusia dimasa pandemi

Istilah pembelajaran memanusiakan manusia telah kita kenal jauh sebelum terjadi pandemi global ini. Sebuah judul buku yang pernah menjadi be...