Jumat, 22 Desember 2017
Menuntut Ilmu Butuh Proses
Pernahkah kita memperhatikan benda-benda yang bagi manusia merupakan sesuatu yg berharga? Mutiara misalnya, andai kita tahu seberapa _keras_ proses yang harus dilaluinya untuk menjadi sebuah benda yang berkilau, seberapa lama ia harus bersabar terkungkung dalam kerang yang keras, maka mungkin kita akan mafhum.Sy teringat dgn salah satu kudapan favorit _barongko_ misalnya yg kini telah diakui sbg salah satu warisan budaya Bugis Makassar. Prosesnya jg terbilang rumit bagiku, tp hasil tak mengkhianati usaha. Yah sepertinya _sesuatu_ yang melalui proses rumit berakhir dengan hasil yg seimbang jg.
Begitu pula dengan menuntut ilmu. Salah satu syarat untuk bisa menguasai ilmu seperti yang kita telah pelajari di halaqah tarbiyah kita adalah *sabar*. Sabar melalui proses yang tak instan, sabar dalam menapaki kerikil-kerikil terjal yang mungkin bersumber dari diri kita sendiri, keluarga, jarak, teman halaqah, atau murobbiyah yang menurut penilaian kita mungkin tak sehebat ustadz kondang yang menghiasi channel di tv ataupun YouTube.
Imam Syafi'i pernah mengungkapkan bahwa *jika kau tak tahan letihnya belajar maka kau harus menanggung perihnya kebodohan* . Menuntut ilmu Dien ini memang tak mudah. Ada banyak keletihan yang sering membuat kita surut dan mundur dari perjuangan menapakinya. Andai kebodohan itu tak perih, mungkin sejak lama kaki ini meninggalkan jejak-jejak para sholafussholeh dalam majlis tarbiyah. Betapa tidak, keperihan akan kebodohan tentang dien ini tak hanya terasa di dunia ini saja. Ia akan berlanjut dan kekal di kehidupan kemudian. Bukankah menuntut ilmu memudahkan jalan ke surgaNya, maka sebaliknya menjauhinya menyulitkan ke surgaNya dan lebih perih memudahkan jalan ke nerakaNya, a'udzubillah min dzaalik. Inilah seburuk-buruk keperihan.
Sabar dalam menuntut ilmu sepertinya berbanding lurus dengan keikhlasan. Ikhlash berarti memurnikan ketaatan hanya kepada Allah. Jika menuntut ilmu sebagai wujud ketaatan kepadaNya. Maka harusnya Ikhlash dan sabar menghiasinya. Ketika kita Ikhlash, maka kita tak akan terpengaruh dengan bisikan2 yang mengendorkan semangat menuntut ilmu. Ketika kita sabar, maka keterbatasan ilmu murobbiyah kita tak akan menjadi masalah. Toh mereka jg manusia biasa yang sedang belajar. Mereka hanya memberanikan diri menempuh jejak langkah para nabi dalam mendakwahkan dien ini ditengah keterbatasan ilmunya. Bukankah dakwah tak hanya bermodal ilmu semata tapi jg kemauan dan semangat. Andai dakwah ini menunggu para masyaikh, maka kapan mereka yang berada di pelosok nun jauh disana tersentuh dakwah?
Sabar dalam menuntut ilmu sulit diselami bagi pribadi yang memiliki idealisme menjulang. Ia sukar tersemai bagi jiwa yang tak pernah puas dengan keterbatasan2 yang ada. Maka tak heran kita akan banyak menyaksikan mereka yang idealis begitu mudah meninggalkan dakwah dan jamaah hanya karena ketidakpuasan dan ketidaksempurnaan dalam jamaah. Memilih untuk membuat jalur sendiri dan menyimpulkan berdasarkan hasil hunting pribadi tentang suatu kasus tanpa melakukan tabayyun mendalam. Bagi jiwa yang idealis, ia tak akan menemukan jamaah yang cocok dengan idealismenya kecuali jamaah itu adalah hasil keringatnya sendiri.
Maka bersabarlah dalam proses menuntut ilmu, sebelum ilmu itu tercerabut dari muka bumi ini atau bahkan sebelum jiwa kita yang meninggalkannya.
@Ummu zaki
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pembelajaran Daring: Memanusiakan manusia dimasa pandemi
Istilah pembelajaran memanusiakan manusia telah kita kenal jauh sebelum terjadi pandemi global ini. Sebuah judul buku yang pernah menjadi be...

-
Bunda Sayang Melatih Kemandirian Institut Ibu Profesional Menciptakan pembiasaan baru dalam diri anak mesti dilakukan bersama. Orang tua...
-
Terkadang orang tua memuji anaknya sebagai wujud apresiasi atas pencapaian yang telah dilakukan. Sebaliknya akan mengkritisi jika melakukan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar