Kamis, 06 September 2018

Dua Anak Lebih, Baik.


Aku termasuk perempuan yang katanya 80% ibu hamil akan merasakan sulitnya masa ngidam, juga lumayan sulit melahirkan dibandingkan cerita emak2 lainnya yang hanya 2-3 jam sakit trus brojol dibanding saya yang harus  begadang bahkan kadang sampai 2 malam kesakitan. Trus saat baby dah lahir, ia sudah harus dipersiapkan buat mandi jam 6 pagi karena profesi emaknya sebagai working mom. Maka tak heran jika tak sedikit yg greget melihat jumlah momongan saya makin bertambah. Udah badan pendek, ngidam sulit, melahirkan susah plus working mom tanpa asisten RT atau bahkan jauh dari bantuan pengasuhan ortu. “Gak kapok2 yah” gitu katanya. Yah wajar lah itu salah satu opini simpatik jg.

Memilih bersusah payah dengan jumlah dan jarak anak yang nyaris menyaingi anak tangga bukanlah tanpa alasan. Kerepotan demi kerepotan dalam masa pertumbuhan anak-anak seolah menjadi rutinitas yang biasa. Abai mencuci dalam sehari dijamin cucian numpuk sampai beronde-ronde. Belum terlipat sekeranjang datang sekeranjang lain menunggu cantik di jemuran. Kondisi rumah lebih sering mirip kapal pecah membuang jauh mimpi interior rumah serapi iklan2 di tv. Kegaduhan rumah jangan ditanya. Tidur siang pulas rasanya telah menjadi kenangan masa lalu seperti saat masih single. Maka tak heran hari gini masih memilih beranak banyak seolah hidupnya kurang modern.

Terlahir sebagai anak bungsu dari 8 bersaudara dari pihak ibu dan ke 12 dari pihak ayah menjadi salah satu alasan. Bisa terbayang jika ibu memilih membatasi anaknya hanya sepasang maka hari ini mungkin aku tak sedang menghirup udara dunia. Tak akan berlanjut keturunan ayah ibuku dari  rahimku, maka menghargai posisi sebagai anak kesekian sekaligus bentuk kesyukuran bisa jadi alasan pertamaku.

Setelah mendapat hidayah melalui halaqah tarbiyah, mulai faham bahwa memperbanyak anak itu SUNNAH bukan sekedar minjem istilah tempo doeloe “banyak anak banyak rejeki”. Termaktub dalam beberapa hadist sahih bahwa salah satu rekomendasi Rasulullah wanita yang baik untuk dinikahi yang penyayang lagi banyak anak alias subur (alwaduud). Sebab Rasulullah akan berbangga di hadapan umat lain dengan jumlah umatnya yang banyak. Maka wajar mereka yang mengaku belajar mencintai Sunnah terkesan memilih berlelah memperbanyak anak. Selain juga sebagai aset kelak saat raga telah berkubang tanah yang do’anya diharapkan.  Akan berbeda do'a dari yang jumlah anaknya banyak dan didik sholeh. Tentu saja tanpa bermaksud menafikan mereka yang ditakdirkan berbeda diluar pilihannya.

Alasan lain yang kemudian semakin menyemangati pilihan ini adalah bahwa berketurunan banyak ternyata berkontribusi dalam mempertahankan kebudayaan islam. Indeks kelahiran dibawah 1,9 % pertahun diyakini akan menghapus sebuah kebudayaan bangsa dan hal inilah yang dikhawatirkan negara maju dimana indeksnya menurun dibawah standar, hanya saja imigrasi yang membuatnya stabil. Kalau di Indonesia bagaimana?  Semula, jumlah umat Islam di Indonesia mencapi 95 persen dari seluruh jumlah rakyat Indonesia. Secara perlahan terus berkurang menjadi 92 persen, turun lagi 90 persen, kemudian menjadi 87 persen, dan kini anjlok menjadi 85 persen. Saya yakin pembatasan jumlah kelahiran muslim berkonstribusi besar dalam menurunkan statistik ini selain dari kasus murtad.

Maka seyogyanya umat ini harusnya menghargai dan berterima kasih pada mereka yang rela berlelah memperbanyak anak bukan malah melihat sebagai sebuah pemandangan “aneh” plus  miring seolah intensitas jima’ mereka lebih sering dibandingkan mereka yg memilih membatasi, padahal saya yakin tak ada bedanya, toh masa subur setiap wanita seragam sekali sebulan. Mereka berjaza mempertahankan bahkan menstabilkan indeks kelahiran muslim agar kebudayaan Islam tak tergerus seperti prediksi yang menyatakan bahwa  di tahun 2035 muslim bukan lagi penduduk mayoritas di negeri ini tapi akan sejajar jumlahnya dengan umat lain. Berbanding terbalik dengan prediksi jumlah kelahiran muslim di negara barat yang semakin meningkat.

Maka terima kasih ibu ayah rahimahumaallah yang  telah memilih berlelah melahirkan dan mendidik kami ditengah keterbatasan ilmu dan ekonomi yang kemudian melahirkan keturunan dari rahim anak-anakmu yang keseluruhan jariku tak bisa lagi digunakan untuk menghitungnya (aku lupa sudah berapa jumlah ponakan saking banyaknya, yang Kutau kalau dikumpul muatnya lebih dari 1 bus, Alhamdulillah 'ala kulli hal).

*Ummu Zaki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembelajaran Daring: Memanusiakan manusia dimasa pandemi

Istilah pembelajaran memanusiakan manusia telah kita kenal jauh sebelum terjadi pandemi global ini. Sebuah judul buku yang pernah menjadi be...