Seperti biasa, setiap shubuh sebelum berangkat ke mesjid, suami bertugas membangunkan anak-anak, sedang saya berkutat di dapur menyiapkan sarapan dan bekal sekolah mereka. Satu kebiasaan Nisa adalah saat bangun dia akan berlama-lama di pembaringan, membuat saya tak henti-hentinya mengingatkan dari balik dapur untuk mengambil wudhu. Tak jarang drama perseteruan antara ibu anak bermula disini. Saat panggilan yang kesekian tak digubris, maka meluncurlah nasehat yang lebih mirip keluhan sang ibu bak air mengalir deras menuju lembah. Maka tak jarang wajah cemberut, hentakan kaki Nisa mewarnai langkahnya menuju tempat wudhu.
Tapi pagi ini,
Saya berusaha mengendalikan emosi tak terpancing suasana. Saya mencoba berkomunikasi ramah. Mengendalikan intonasi dengan kalimat yang tak memantik emosi Nisa.
Akhirnya kami mampu melewati drama yang hampir saja terulang tanpa saya harus mengangkat suara. Dengan sedikit bujukan dan kalimat pujian tentunya.
Saat jadwal cuci piring yang biasanya ia lakukan sore hari, saya tak perlu bersitegang mengingatkan.
Kali ini saya mengatakan apa yang saya inginkan. “Ibu ingin engkau mencuci piring sore ini agar esok pagi peralatan masak ini siap dipakai. Jika tidak kakak bisa telat ke sekolah karena sarapan juga terlambat tersedia bersebab ibu harus mencuci peralatan masak dulu baru kemudian memasak sarapan.
Meski diawal ia sempat menunjukkan penolakan dengan wajah cemberut. Tetapi tak sampai membantah dan berlama-lama menunggu instruksi yang sama lagi. Alhamdulillah, lumayan bisa menghindarkan drama ibu anak sore ini. Ia kemudian mencuci piring dengan wajah datar tak menampakkan kekesalan.
Di malam hari, Nisa mengeluhkan lidahnya yang perih akibat sariawan.
Di malam hari, Nisa mengeluhkan lidahnya yang perih akibat sariawan.
Saya mencoba berempati sekaligus mengganti nasihat dengan refleksi pengalaman dengan mengatakan “Sariawan memang rasanya perih, apalagi jika di lidah. Kakak perlu banyak asupan air dan minum madu agar sariawannya bisa sembuh. Ibu juga kadang sariawan, terlebih jika ibu sering membantah ayah. Mungkin Allah sedang menegur ibu. Jadi sebenarnya sakit itu bisa jadi sebuah teguran agar lisan lebih terjaga. Juga bisa menjadi penggugur dosa-dosa. Maka ibu bersabar dab perbanyak istighfar agar Allah menyembuhkan”.
Mendengar itu, Nisa tak berwajah cemberut seperti biasa jika dinasehati. Kali ini dia hanya terdiam tanpa menunjukkan wajah penolakan ataupun cemberut. Seolah kalimat itu benar adanya dan baik baginya. Syukurlah. Hari ini terlewati dengan komunikasi minim teriakan dan juga wajah cemberut Nisa. Semoga dihari berikutnya peningkatan komunikasi produktif lebih terlihat.
#hari2
#gamelevel1
#tantangan10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang
#institutibuprofesional
#hari2
#gamelevel1
#tantangan10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang
#institutibuprofesional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar