Menghadirkan Nuansa Surga di Rumah
Suasana surga yang tak cukup dideskripsikan dengan seluruh perbendaharaan kata indah bukan berarti mustahil dihadirkan dalam rumah kita. Baitii Jannatii rumahku adalah surgaku. Adalah sebuah ungkapan dari sang teladan hidup Muhammad Rasulullah shalallahu alayhi wasallam cukuplah menjadi bukti bahwa atmosfer damai nan bahagia sebagai salah satu nuansa surga bisa tercipta dalam rumah kita.
Namun rumahku surgaku akan terasa sulit bila jumlah anggota keluarga kita telah bertambah dengan kelahiran buah hati. Terlebih jika jumlahnya tak sedikit dengan jarak yang berdekatan. Maka bisa jadi pertengkaran dan teriakan mewarnai keseharian bocah-bocah kita. Hal ini bisa membongkar kesabaran orang tua dan kemudian teriakan, ancaman atau bahkan pukulan tak jarang dianggap sebagai solusi. Bila hal ini telah menjadi perulangan maka bagaimana rumah kita bisa menjelma menjadi surga dunia?
Bertengkar, teriak atau saling usil diantara anak-anak kerap kali membuat kewarasan ibu ayah di rumah sedikit terganggu. Apalagi jika tema pertengkaran itu adalah hal sepele atau bahkan memperebutkan benda tak berguna yang kemudian setelahnya akan diabaikan. Terkadang kita sebagai orang tua hanya bisa menggeleng kepala menepikan benda yang baru saja diperebutkan berakhir di tempat sampah tanpa satupun dari mereka ingin meliriknya lagi.
Selain pertengkaran, polah tingkah anak-anak yang sedang masa pertumbuhan bisa memicu stress orang tua bila tidak cukup mental mempersiapkan diri akan kondisi demikian. Maka berbagai macam reaksi akan muncul. Mulai dari bentakan, teriakan atau bahkan cubitan dan pukulan mendarat di tubuh mungil sang anak yang kemudian akan berakhir dengan penyesalan mendalam saat mereka terlelap dalam buaian.
Tak terkecuali keluarga kami. Hal serupa pun terkadang mewarnai kehidupan anak-anak kami yang tak sedikit. Meski teori parenting dasar telah dilahap saat mereka belum lahir atau bahkan sebelum ijab Qabul terucap, membekali diri dengan ilmu syar'i dasar dan beberapa adab harian, namun pada kenyataannya teori tak cukup mudah diaplikasikan. Teori tak seindah praktek. Dan selalu saja praktek melenceng dari teori yang kemudian berakhir dengan rasa bersalah mendalam.
Akhirnya kami berdiskusi mencoba mencari penyelesaian dan metode untuk menciptakan rumah surgawi. Rumah minim pertengkaran dan suara teriakan. Rumah yang senantiasa akan menjadi kenangan yang dirindukan saat mereka telah memilih jalan masing-masing. Kami tak ingin masa kecil mereka menjadi momen traumatis atau bahkan menyisakan dendam masa lalu yang kemudian akan dilampiaskan tanpa sadar pada generasi selanjutnya. Kami khawatir mendidik mereka merupakan pengalaman membentuk kebiasaan baik dengan cara yang salah sehingga meninggalkan kenangan yang menyesakkan dada. Jangan sampai hingga mereka dewasa dan telah berubah status menjadi orang tua namun mereka belum selesai dengan masa lalunya yang kemudian siklus sama kembali terulang.
Maka mulailah kami berburu ilmu parenting yang selama ini terabaikan oleh rutinitas yang cukup menguras perhatian. Mengoleksi buku-buku pendukung dan mengeksekusi buku lama yang selama ini hanya menghias pustaka mini kami. Mengikuti akun yang memiliki visi dan misi yang sama, grup-grup parenting di medsos dan membaca artikel-artikel terkait yang bertebaran di dunia maya. Meski praktek tak selamanya sesempurna teori namun setidaknya ada usaha kami demi perbaikan pola asuh anak yang kelak do'anya kami rindukan terlebih saat jasad telah berkubang tanah.
Selanjutnya evaluasi sebagai orang tua juga dilakukan. Muhasabah diri dalam mendidik mereka. Mengoreksi kesalahan-kesalahan pengasuhan yang selama ini kami anggap hal lumrah dan manusiawi yang sesungguhnya tak demikian bila merujuk pada teori parenting. Maka keteladanan kami mulai aktifkan kembali. Memulai dari diri kami sendiri untuk mengontrol emosi, suara dan bahkan meminimalisir pertengkaran yang bisa jadi merupakan model yang mereka tiru selama ini.
Selanjutnya kami mencoba menerapkan metode Bintang Minus pada anak. Memberi reward bintang bila melakukan hal baik, dan minus bila sebaliknya. Tak lupa mengajak mereka merumuskan hal baik yang perlu dibiasakan dan hal tak baik yang perlu dipangkas. Hasil pengumpulan Bintang setiap anak akan dikurangi dengan total minus. Yang kemudian jika hasil akhirnya masih menyisakan banyak bintang pada jumlah tertentu, maka sebuah hadia menarik akan diberikan. Sebaiknya hadiah dibicarakan sebelum metode dijalankan agar bisa menjadi motivasi.
Saat ini Alhamdulillah metode ini cukup efektif menumbuhkan kebiasaan baik dan meminimalisir hal-hal yang tak kami harapkan. Mereka mulai berlomba melakukan hal baik yang awalnya demi berburu bintang. Mengurangi aktifitas yang berada pada ranah tak baik sesuai item yang telah kami susun bersama. Setelah pola pembiasaan hal baik pada beberapa item terbentuk dan perilaku tak baik mulai lenyap maka dirumuskan kembali poin aktifitas baik dan tak baik sesuai kebutuhan berdasarkan rumusan bersama dengan melibatkan anak. Sehingga pada akhirnya akan menjadi kebiasaan permanen yang kemudian menjelma menjadi karakter dasar. Maka orang tua akan menuai hasil manis tanpa perlu memaksakan kehendak mengangkat suara atau bahkan melayangkan pukulan untuk membentuk generasi Sholeh dan Sholehah penyejuk mata. Pada akhirnya impian baitii jannatii, rumahku adalah surgaku bisa terwujud.
#ummu zaki
![]() |
Bintang minus si krucil |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar